Oleh: Nurlaillah Sari Amallah Mujahidah KAUM sekuler baik Barat maupun Timur tidak akan ada kata henti menyerukan manusia untuk menjauhkan agama dari politik, jauhkan Islam dari Negara. Seruan ini bukan barang baru, dalam sejarah keagamaan pemikiran tersebut memiliki akar dalam “kesucian” teks agama Nasrani. Dalam Bible disebutkan: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan.” Inilah pemisahan ekstrim antara keterkaitan kekuasaan dan agama.
Tahun terus berjalan, abad berganti, upaya mereka untuk memadamkan agama Allah Ta’ala dengan mulut-mulut mereka terus bergulir, dengan wajah dan gaya baru, tetapi konteksnya sama. Hanya saja, akan selalu ada pada tubuh umat ini segolongan manusia yang membendung mereka, melucuti kebohongan. dan meruntuhkan semua bangunan argumen yang mereka dirikan. Hingga agama ini tetap menduduki haknya sebagai penguasa dan pengelola dunia ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaf: 8)
Seringkali orang bertanya kenapa agama dibawa-bawa dalam urusan politik atau politik membawa-bawa agama. Juga sering timbul pertanyaan, bagaimana dapat suatu partai politik didasarkan kepada agama.
Secara faktual, pada proses awal pembentukan negara Indonesia dalam sidang BPUPKI permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara, dasar filsafat negara, dan hal lainnya yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Sedari awal benih-benih perdebatan ideologi mulai muncul secara terbuka mengenai hubungan antara agama dan negara.
Selama penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum muslimin tidak sempat berpikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif, dan tuntas mengenai berbagai masalah termasuk bernegara. Negara menurut Dr. Wahid Ra’fat adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu di belahan bumi ini yang tunduk pada suatu pemerintahan yang teratur dan bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya, dan kemaslahatan umum. Sedangkan Islam secara sederhana adalah sistem hidup manusia itu sendiri yang diridhoi oleh Allah Ta’ala, tuhan semesta alam.
Mohammad Natsir, Mantan Menteri Penerangan yang juga merupakan Tokoh Partai Masyumi mengatakan, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dalam Capita Selecta, sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan Natsir, ada beberapa pandangan Natsir mengenai hubungan Islam, politik, dan negara yang sangat menarik untuk direnungkan, terutama saat pemerintah negara ini ingin mencoba mengubah negara berdasarkan ketuhanan menjadi negara sekuler.
Natsir menyatakan, ”Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.” (Mohammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 436).
Baca: PP Pemuda Muhammadiyah: Memisahkan Agama dan Politik Tidak Pancasilais dan Tak Sesuai UUD 1945 Bahkan, seorang orientalis, H.A.R. Gibb mengungkapkan, “Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization.” Islam itu adalah lebih dari sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan yang paling lengkap sempurna.
Karenanya, seruan Presiden Joko Widodo untuk memisahkan agama dan politik jelas dapat menyebabkan gesekan antar umat beragama (meski dimaknai dalam konteks yang sempit, yakni konteks Pilkada), yang jelas, upaya memisahkan agama dengan politik bisa dimaknai sebagai upaya melalaikan amanat UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan agama (Ketuhanan). Memisahkan agama dan politik di Indonesia laksana memutus sendi berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, agama menjadi sendi penting dalam kehidupan karena negara tidak semata-mata kebutuhan lahiriah, tetapi juga untuk kebutuhan ruhaniyyah dan ukhrawiyah manusia.
Penulis seorang mahasiswa jurusan jurnalistik Rep: Admin Hidcom Editor: Cholis Akbar
Islam dan Negara, Senyawa yang Tak Terpisahkan
Rating: 4.5
Diposkan Oleh: MY BLOGGER
0 comments:
Posting Komentar