Hukum Update Status di Facebook

kabar islam update

loading...

Senin, 29 Mei 2017

Hukum Update Status di Facebook

Syarat paling utama suatu amalan ibadah seorang hamba diterima di sisi Allah Subhanahu Wata’ala adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka.
Salah satu pintu syaitan memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satu contoh pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba adalah update status di jejaring sosial.

“Saat ini ada suatu gejala yang terkadang membuat kita miris, berniat ibadah tapi ingin diketahui orang lain, termasuk dengan menulis dan update status di media-media sosial seperti Facebook, BBM, twitter dan lainnya. Jika kita merasa bangga karena ibadah kita diketahui dan dibaca orang banyak, ini sudah termasuk unsur riya’ dalam beribadah,” kata Ustaz Agusri Syamsuddin, MA, Imam Masjid Al-Wustha Perumnas Jeulingke, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, belum lama ini.

“Bukankah syarat paling utama suatu amalan diterima disisi Allah adalah ikhlas? Maka tanpa rasa ikhlas amalan seseorang akan menjadi sia-sia dan pahala yang kita harapkan akhirnya terbang melayang begitu saja seperti debu diterbangkan angin,” ujar alumni Universitas Islam Omdurman, Sudan ini.

http://postislamaceh.blogspot.com/2017/05/hukum-update-status-di-acebook.html

Menurut Agusri Syamsuddin, riya’ adalah melakukan sesuatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya, dan termasuk juga dalam riya’ adalah sum’ah yaitu melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun datang.

Bahaya riya’ bisa menjangkiti siapa saja bahkan orang alim pun tak luput dari serangannya.
Begitu hebatnya bahaya riya’ ini membuat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam juga khawatir atasnya hingga Nabi bersabda, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar (syirik kecil)”. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab “(contohnya) adalah riya’.”

Dosen luar biasa UIN Ar-Raniry ini juga menambahkan, ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat. Fitnah dunia membuat hati ini susah untuk ikhlas. Ikhlas dalam beribadah yaitu hanya mengharap pahala dari Allah semata, bukan karena riya’, bukan karena “gengsi-gengsian”, dan bukan karena mengharap perhatian, tanggapan, apalagi pujian manusia.

“Sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah? Jangan sampai ibadah yang kita lakukan siang dan malam menjadi sia-sia tanpa pahala. Sungguh, ikhlas memang berat. Urusan niat dalam hati bakanlah hal yang mudah,” terangnya.
Agusri menyebutkan, amalan yang tersembunyi adalah lebih baik, dan berusaha menutup pintu dan celah riya’ sangat dianjurkan, kecuali jika ada kemaslahatan yang sangat diharapkan. Ketahuilah bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang menyembunyikan amalnya dan mencintai hamba yang hanya mengharap ridha Allah.

“Namun demikian, tidaklah perlu kita menuduh orang terjerumus dalam riya’ akan tetapi tujuan kita adalah lebih untuk mengoreksi diri sendiri,” katanya.
Syarat lainnya agar ibadah seorang hamba akan diterima dan diberi pahala oleh Allah‎ adalah Ittiba’ atau mengikuti tuntunan Rasulullah.

“Dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dalam segala hal,” terangnya.‎*/Teuku Zulkhairi, Aceh

0 comments:

Posting Komentar