Sabtu, 18 Oktober 2014
Pengertian Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan istilah ayat-ayat muhkam dan juga terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan sebutan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat Muhkamat yaitu ayat sudah jelas makna dan maksudnya, sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memilki banyak interpretasi makna, dan oleh karenanya sering menimbulkan permasalahan dalam pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Sebenarnya bagaimana ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat? Tulisan berikut mudah-mudahan dapat memberikan sedikit pencerahan bagi pembaca sekalian.
1. Makna Muhkamat
2. Makna Mutasyabihat
3. Beberapa pendapat ulama
Ayat-ayat yang musykil mengenai sifat-sifat Allah, diantaranya adalah seperti firman Allah SWT berikut :
1. Makna Muhkamat
Al-Qur’an (baca ; ayat-ayat suci Al-Qur'an) semuanya adalah muhkam. Ungkapan ini dimaksudkan bahwa kemuhkaman Al-Qur'an mencakup lafadh dan keindahan nadhamnya, (baca ; susunan dan rangkaian kata & kalimatnya) sunguh sangat sempurna¸tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafadhnya, maupun dalam segi maknanya. Dan dengan pengertian seperti inilah Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang Allah tegaskan dalm firmannya :
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS. 11 : 1)
2. Makna Mutasyabihat
Dan kita dapat juga mengatakan, bahwa seluruh Al-Qur’an (ayat-ayatnya) adalah mutasyabih, jika yang kita maksudkan dengan kemutasybihannya adalah kemutamatsilan (yaitu serupa atau sebanding) antara ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghoh maupun dalam bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan sebahagian sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah Allah swt berfrman :
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, (QS. 39 : 23)
3. Beberapa pendapat ulama
Makna ihkam dan tasyabuh (baca; muhkam dan mutasyabi) dalam pengertian bahwa ayat-ayat Al-Qur'an seluruhnya muhkam atau mutasyabihat (sebagaimana yang dibahas di atas) bukanlah yang kita maksudkan dari muhkam dan mutasyabihat yang akan kita bahas. Namun yang perlu digaris bawahi pula adalah bahwa yang mennyebabkan kita mengatakan istilah muhkam dan mutasyabih, landasannya adalah firman Allah :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3 : 7)
Didalam ayat itu telah dinyatakan, bahwasanya muhkam ialah imbangan (baca; lawan) dari mutasyabih. Dalam artian bahwa sebagai orang yang rasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan (baca; lawan) dari orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para Ulama telah mnjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat mereka dalam maudhu/ tema ini yang bermacam pula .
Namun demikiann pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya yang dikatakan muhkam yaitu “yang menunjukkan kepada maknanya dengan jelas”, sedikitpun tak ada yang tersembunyi padanya. Sedang mutasyabih yaitu : yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk pada maknanya. Maka masuklah ke dalam muhkam : nash dan dzahir (jelas). Dan ke dalam mutasyabih : mujmal, muawwal dan musykil . Karena lafadh mujmal memerlukan penjelasan. Lafadh muawwal, tidak menunjukkan kepada suatu makna, terkecuali sesudah ditakwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya. Pada pokoknya ada kesamaran dan kemubhaman.
Jelasnya, adalah pada ayat-ayat yang muhkam, menyebabkan kita tidak perlu membahasnya, karena dengan kita membacanya, kita telah mengetahui apa maksudnya. Tapi tersembunyinya maksud dari ayat-ayat mutasyabih, itulah yang menyebabkan kita membahasnya, supaya kita mengetahui kemudian menjauhi dari golongan orang-orang yang didalam jiwanya ada kesesatan.
- Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah SWT sendiri dan mereka mengharuskan kita berwaqaf (baca; berhenti) dalam membaca Surat Ali Imran ayat 7 pada lafadh jalalah :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلبَابِ
Dan tidak ada yang mengetahui maknanya melainkan Allah. Adapun orang-orang yang rasikh ilmuny , maka mereka hanya mengatakan : “aamannaa bihii kullun min indi rabbina” ( Kami beriman kepadanya semuanya itu dari pada Tuhan kami)”.
- Sedangkan Abu Hasan al Asy’ari berpendapat bahwa waqaf (berhenti membaca) dilakukan pada: “warrasikhuuna fil ilmi “, dengan makna bahwa; mereka yang rasikh itu mengetahui takwil mutasyabih. Pendapat ini dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirozi (wafat pada th 476 H) dan mendapatkan pembelaan dari beliau. Asy Syirazi berkata: tak ada satupun dari ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya “Para Ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firmannya ini dalam rangka menguji para ulama. Andaikata mereka tidak mngetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka dengan orang-orang awam.
- Ar-Raghib al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bahagian :
- Bahagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi , keluar binatang dari bumi dan yang sepertinya.
- Bahagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadh-lafadh yang ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
- Bahagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebahagian ulama yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebahagian yang lain.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas ra, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِي أَوْ عَلَى مَنْكِبِي شَكَّ سَعِيدٌ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ - رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW meletakkan tangannya di atas bahuku, kemudian berkata, Ya Allah jadikanlah dia seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya” (HR. Ahmad)
Pendapat ar-Raghib inilah yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Dzat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri. Dalam pengertian inilah mengatakan dalam doanya :
أنت كما أثنيت غلى نـفسك لا أحصى ثناء عليك
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau . Aku tak dapat menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”
Dalam membahas fawatihus Suwar, kita akan ketemukan berbagai takwil yang diberikan para ulama. Semua pendapat para ulama berkisar pada permasalahan hikmah wujudnya (fawatihu Suwar), bukan sekitar hakikat-hakikatnya. Maka di dalam ketidak mampuannya manusia menemukan hakikat-hakikat itu. terasalah oleh manusia kelemahannya. Dan diapun mengucapkan :
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاََ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Kami mengakui kesucian Engkau, tak ada ilmu bagu kami terkecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya. Engkau adalah Tuhan yang senantiasa mengetahui lagi senantiasa menyelesaikan sesuatu dengan hikmah.” (QS. 2: 32)
Ayat-ayat yang musykil mengenai sifat-sifat Allah, diantaranya adalah seperti firman Allah SWT berikut :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. (QS.20 : 5)
Ar-Razi dalam tafsirnya menerangkan hikmah yang diterangkan sifat-sifat yang mutasyabih, belaiu berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an melengkapi dakwah kepada orang-orang khusus dan dakwah kepada orang-orang umum.” Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihah, mempunyi dua madzhab :
- Madzhab Salaf, yaitu : mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikat kepada Allah sendiri.
- Madzhab Khalaf, yaitu : mempertanggung jawabkan(mentakwilkan) lafadz yang mustahil dhahirnya kepada makna yang layak dengan dzat Allah
Ulama salaf mensucikan Allah dari kenyataan –kenyatan yang mustahil dan mengimani apa yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahklan urusan hakikat nya kepada Allah SWT. Sedangkan Ulama khalaf memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang berupa maknawi yaitu mengendalikan alam ini tanpa merasa payah, memaknakan kedatangan Allah dengan kedatangan perintah-Nya, memaknakan Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, memaknakan “janbillah” dengan hak Allah, memaknakan wajah dengan Dzat,memaknakan “ain dengan “inayat”, memaknakan yad dengan qudrat dan memaknakan nafs dengan siksa.
Sementara para ulama khalaf mentakwilkan sifat-sifat mutasyabihah dengan jalan mempertanggung jawabkannya kepada majaz yang terdekat, sehingga makna dari ayat-ayat mutasyabihat tersebut dapat lebih difahami.
Namun sebagai hamba Allah SWT, hendaknya kita memiliki kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Jangan sampai kita "terjebak" dalam penta'wilan yang tidak ada nash dan dasarnya, yang justru akan menjerumuskan pada pemahaman yang keliru. Namun hendaknya juga jangan "enggan" untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an, karena kita masih dapat merujuk ke kitab-kitab tafsir (bil ma'tsur) untuk dapat memahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya.Demikianlah uraian singkat semoga bermamfaat.
Namun sebagai hamba Allah SWT, hendaknya kita memiliki kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Jangan sampai kita "terjebak" dalam penta'wilan yang tidak ada nash dan dasarnya, yang justru akan menjerumuskan pada pemahaman yang keliru. Namun hendaknya juga jangan "enggan" untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an, karena kita masih dapat merujuk ke kitab-kitab tafsir (bil ma'tsur) untuk dapat memahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya.Demikianlah uraian singkat semoga bermamfaat.
0 comments:
Posting Komentar