Rabu, 22 Oktober 2014
Al Qur'an dan Hadist Sebagai Pedoman Hidup
Al Islam Peristiwa turunnya al-Quran di bulan Ramadhan setiap tahun senantiasa diperingati, begitu pula tahun ini seperti yang marak dilakukan pada hari-hari ini. Peringatan itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas diturunkannya al-Quran. Ramai dan semaraknya peringatan Nuzulul Quran di negeri ini patut mendapat apresiasi. Namun tentu saja peringatan itu tidak boleh berhenti hanya sebatas seremonial semata seperti yang terlihat selama ini.
Begitu juga, sudah mentradisi, setiap tahun turunnya al-Quran dirayakan secara seremonial. Al-Quran dibaca dan didendangkan dengan merdu di arena MTQ, tadarusan al-Quran juga marak, dsb. Namun sayang, aktivitas tersebut belum diikuti dengan pemahaman atas maksud diturunkannya al-Quran. Al-Quran yang diturunkan sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi oleh umat manusia, justru dijauhkan dari kehidupan.
Al-Quran merupakan kalamullah dan membacanya merupakan ibadah. Betul, bagi seorang Muslim, sekadar membacanya saja berpahala (Lihat: QS al-Fathir [35]: 29), bahkan pahala itu diberikan atas setiap huruf al-Quran yang dibaca. Akan tetapi, yang dituntut oleh Islam selanjutnya adalah penerapan atas apa yang dibaca. Sebab, al-Quran bukan sekedar bacaan dan kumpulan pengetahuan semata, tetapi petunjuk hidup bagi manusia. Al-Quran tidak hanya sekadar dibaca dan dihapalkan saja, melainkan juga harus dipahami dan diamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.
Sering kita mendengar pernyataan bahwa al-Quran adalah pedoman hidup. Tetapi nyatanya al-Quran tidak dijadikan sebagai sumber hukum untuk mengatur kehidupan. Al-Quran hanya diambil aspek moralnya saja sementara ketentuan dan hukum-hukumnya justru ditinggalkan.
Semua sikap itu sering diklaim sebagai sikap mengagungkan al-Quran. Disadari atau tidak semua sikap itu masih terjadi di tengah masyarakat. Padahal sesungguhnya sikap-sikap itu bukan bentuk pengagungan terhadap al-Quran, tapi sebaliknya justru pengkerdilan terhadap al-Quran. Bahkan boleh jadi semua itu termasuk sikap yang diadukan oleh Rasulullah saw dalam firman Allah SWT:
] وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا [
Dan berkatalah Rasul, "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan" (TQS. al-Furqan [25]: 30)
Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qurân al-’Azhîm, mencontohkan sikap hajr al-Qurân (meninggalkan atau mengabaikan al-Quran). Diantaranya adalah menolak untuk mengimani dan membenarkan al-Quran; tidak mau menyimak dan mendengarkannya, bahkan membuat kegaduhan dan pembicaraan lain sehingga tidak mendengar al-Quran saat dibacakan; tidak mentadaburi dan memahaminya; tidak mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangannya, dan berpaling darinya lalu berpaling kepada selainnya, baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan, atau thariqah yang diambil dari selain al-Quran.
Selain itu Allah SWT mensifati kaum yang melakukan hal itu dengan sifat yang sangat jelek. Hal itu seperti ketika Allah SWT mensifati kaum Yahudi di dalam firman-Nya:
] مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ [
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. (TQS al-Jumu'ah [62]: 5)
Melalui ayat tersebut, Allah mensifati kaum yang memikul wahyu tanpa melaksanakannya laksana keledai yang membawa kitab-kitab tebal. Apa yang ada dalam perasaan kita ketika kita tidak melaksanakan al-Quran, lalu Allah SWT mengumpamakan kita seperti keledai? Orang yang beriman, bertakwa dan rindu akan ridla Allah Swt. Niscaya akan meneteskan air mata jika disebut begitu oleh Zat yang dia harapkan ampunan-Nya.
Menjadikan Al-Quran Sebagai Pedoman Hidup
Al-Quran sejatinya diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk, penjelasan atas petunjuk itu dan pembeda antara hak dan batil, benar dan salah, baik dan buruk serta terpuji dan tercela. Karenanya al-Quran itu harus dijadikan pedoman hidup. Untuk itu keimanan terhadap al-Quran haruslah totalitas, keseluruhannya, bagian per bagiannya, dan ayat per ayat yang ada di dalamnya. Mengingkari satu ayat al-Quran telah cukup menjerumuskan seseorang dalam kekafiran (QS. an-Nisa’ [04]:150-151).
Keimanan terhadap al-Quran itu mengharuskan untuk tidak bersikap ‘diskriminatif’ terhadap seluruh isi dan kandungan al-Quran. Tidak boleh terjadi, sikap bisa menerima tanpa reserve hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Sebab semuanya sama-sama berasal dari al-Quran dan sama-sama merupakan wahyu Allah SWT.
Karena itu tidak semestinya muncul sikap berbeda terhadap satu ayat dengan ayat lainnya. Jika ayat Kutiba ‘alaykum ash-shiyâm -diwajibkan atas kalian berpuasa- (QS. al-Baqarah [02]: 183), diterima dan dilaksanakan, maka ayat Kutiba ‘alaykum al-qishâsh -diwajibkan atas kalian qishash- (QS. al-Baqarah [02]: 178); atau Kutiba ‘alaykum al-qitâl -diwajibkan atas kalian perang- (QS. al-Baqarah [02]: 216) tentu juga harus diterima dan dilaksanakan. Tidak boleh muncul sikap keberatan, penolakan, bahkan penentangan dengan dalih apa pun. Sikap ‘diskriminatif’ akan berujung pada terabaikannya sebagian ayat al-Quran. Itu merupakan sikap mengimani sebagian al-Quran dan mengingkari sebagian lainnya. Sikap itu diancam oleh Allah akan mendapat kehinaan di dunia dan azab pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Menjadikan al-Quran sebagai pdoman hidup itu mengharuskan kita untuk mengambil dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang diberikan oleh al-Quran dan hadits Nabi saw, yakni hukum-hukum syariah Islam. Sebab al-Quran juga memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa Nabi saw dan meninggalkan apa saja yang beliau larang (QS al-Hasyr [33]: 7).
Ketentuan dan hukum yang dibawa oleh al-Quran dan hadits itu mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS. an-Nahl [16]: 89). Berbagai interaksi yang dilakukan manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semua berada dalam wilayah hukum al-Qur’an dan hadits.
Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, sanksi pidana, dsb. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan individu dan hanya sah dilakukan oleh imam yakni khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.
Karena itu, menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup itu tidak akan sempurna kecuali sampai pada penerapan hukum-hukum syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan totalitas. Dan itu tidak mungkin kecuali melalui kekuasaan pemerintahan dan dalam bingkai sistem yang menerapkan syariah, yang tidak lain sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Al-Qur’an Sebagai Petunjuk dan Pedoman Bagi Manusia
Allah SWT menurunkan pesan-pesan-Nya melalui al-qur’an kepada manusia, untuk dijadikan pegangan dan pedoman,dunia dan akhirat, agar manusia sukses dalam menjalani kehidupan di dunia dan bahagia di akhirat. Allah menurunkan al-qur’an melalui Rasul-Nya, menggunakan bahasanya, al-qur’an diturunkan dibelahan bumi pilihan Allah, yakni Mekkah Al Muqarramah dan sebagai umat islam yang juga terpanggil untuk menjalankan pesan-pesan Allah, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjadikan al-qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam hidup dan kehidupan, yakni memasyarakatkan isi, bacaan dan mengamalkan al-qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
“ Alif Laam Raa ….. ( ini adalah ) Kitab yang kami turunkan kepadamu (Muhammad) supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegerlapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan, (Yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha terpuji ”. (QS;Ibrahim ayat; 1)
Dari ayat yang di atas, jelaslah bahwa fungsi al-qur’an adalah untuk membebaskan manusia pada ayat ini Allah menyebutkan kegelapan dengan menggunakan jamak Mu’annas salim dari isim mufrad artinya kegelapan-kegelapan. Mengandung bahwa kegelapan di dunia ini banyak macam raga dan bentuk. Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa tafsir, baik itu ( At-Tabari ), (Jalalain), ( Ibnu Katsir ), maupun (Al-Kurtubi ) disebutkan bahwa itu tafsirnya , kekafiran, kesesatan dan kebodohan. Sementara dalam ayat ini menggunakan isim mufrad, tidak menggunakan bentuk jamak. itu menunjukkan bahwa cahaya itu satu, yakni cahaya iman, petunjuk dan hidayah Allah SWT.
Pada saat Nabi Muhammad yang begitu semangatnya mempelajari al-qur’an hingga ketika Jibril belum selesai menuntun, beliau sudah menirukannya.
Allah melarang Nabi Muhammad, menirukan bacaan Jibril kalimat demi kalimat, sebelum Jibril membacakannya sampai selesai.
Hal ini dilakukan agar Nabi Muhammad benar-benar paham dan hafal terhadap ayat yang diturunkan. Artinya tanamkanlah kegemaran membaca al-qur’an, pelajarilah secara bertahap dan siapapun yang ingin belajar al-qur’an haruslah ada pembimbingnya, agar ketika salah membacanya ada yang mengoreksinya.
16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
20. sekali-kali janganlah demikian. sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia,
21. dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.(QS;Al-Qiyamah : 16-21)
Pada ayat ini juga Allah memerintahkan dengan Fi’il Amar maka iktuilah bacaan itu artinya, setelah gemar membaca dan mengamalkannya al-qur’an kita tidak hanya tinggal diam. Kita disuruh mengikuti al-qur’an, mengikuti amalan syariat dan hokum-hukumnya, sesuai dengan kapasitas diri masing-masing. Pelestarian dan pengaktualisasian nilai-nilai al-qur’an dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Dengan kecintaan membaca ayat-ayat al-qur’an , merupakan tanda akan lahir suatu motivasi untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kecintaan terhadap al-qur’an tidak lahir dengan spontanitas, disamping upaya yang sungguh-sungguh dari diri sendiri, keluarga dan para ulama dalam meningkatkan tulis baca al-qur’an, namun yang tidak kala pentingnya adalah faktor apresiasi pemerintah. Jikalau kita seorang pejabat, tiada salahnya membuat peraturan daerah yang berhubungan dengan al-qur’an, misalnya setiap anak yang melanjutkan ke tingkat SLTP dan SLTA hendaknya memiliki sertifikat tulis baca al-qur’an. Dengan demikian, TPA-TPA yang ada disekitar kita tidak akan sepi seperti sekarang ini. Kita bangga karena didaerah kita telah banyak berdiri mensjid-mesjid, telah banyak berdiri surau-surau, TPA-TPA yang telah banyak dicetak qari dan qari’ah,Wallahu'alam bisshawab
Demikianlah Oleh karena itu, marilah kita galakkan membaca Al-Qur’an.Ayolah, bersama-sama kita pelajari dan mengamalkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana layaknya Rasul diberi gelar Al-Qur’an yang berjalan.semoga kita tetap berpegang teguh kepada dan sunnah nabi, Dengan demikian akan tercapailah masyarakat yang dicita-citakan yaitu BALDHATUN TAYYIBATUN WARABBUN GHAFUR.
0 comments:
Posting Komentar